Laman

Selasa, 13 Maret 2012

Nokia vs Blackberry


Ada apa dengan Blackberry dan Nokia? Well, Nokia jelas sempat mendapat julukan ponsel sejuta umat. Hal tersebut menjadi indikator bahwa Nokia adalah pemain lama yang berkuasa di pasar ponsel Indonesia. Blackberry sebelumnya hanya dikenal sebagai gadget eksklusif milik para eksekutif. Kini kondisi seperti hendak berbalik. Semua orang menginginkan Blackberry.

Kepopuleran Blackberry sepertinya muncul bersamaan dengan boom Facebook sebagai social network. Sepertinya juga diiringi kesalahpahaman bahwa hanya Blackberry yang bisa mengakses Facebook. Padahal fitur utama Blackberry adalah Push Mail, bukan untuk keperluan browsing. Setelah kesalahpahaman, Blackberry pun menjadi komponen bagi standard baru dalam mendefinisikan up-to-date.

Mungkin ini menjadi salah satu bukti keunikan pasar Indonesia. Majalah Marketeer mengutip hal ini dengan kalimat “Nothing is impossible di Indonesia”.
Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Mungkin Blackberry harus berterimakasih pada Friendster yang telah menyiapkan pasar dengan menjadi inisiator social network. Friendster telah mendidik konsumen supaya tidak takut internet dan menanamkan social networking dengan salah satu kebutuhan, lebih dari sekedar lifestyle.

Terkoneksi setiap saat dengan peer bukanlah prioritas bagi generasi tua, namun bagi generasi baru ini adalah what defines them. Kita harus tahu apa yang orang lain lakukan dan orang lain harus tahu apa yang kita lakukan. Jika tidak, maka kita akan kehilangan presensi dalam kelompok kita.

Kita sangat adiktif pada apapun yang baru. Mungkin karena kita terobsesi untuk menjadi berbeda dengan yang lain. Bisa jadi hal ini yang membuat Blackberry dikejar banyak orang. Mereka ingin membedakan dari kelompok lama.

Tentunya hal juga ini tak lepas dari naiknya kemampuan beli konsumen dan peran penjual dalam memberikan skema harga yang semakin affordable. Peningkatan kemampuan beli konsumen menjadikan Blackberry less exclusive dari sebelumnya namun tetap ekslusif karena harganya masih di atas jangkauan kebanyakan konsumen ponsel.
How to undo or deal with such effect?

Salah satu caranya adalah “Be flexible and jump into the local bandwagon. Don’t resist.” Namun langkah semacam itu beresiko mengikis karakteristik brand. Membeo pada tren pasar bisa membuat brand kehilangan diferensiasi
Bisakah hal ini terjadi pada konteks/produk lain?

Nothing is impossible in Indonesia, dan mungkin juga di negara lain. We are what people define us. Paling tidak formula inilah yang berlaku bagi generasi baru konsumen Indonesia. Hal ini bisa jadi memang menjadi sifat permanen konsumen atau efek sementara dari membanjirnya konsumen newbie.

Bagaimana menurut Anda, apa sebenarnya yang membuat Blackberry naik daun. Bagaimana dengan peran produsen ponsel murah? Adakah kaitannya tren Blackberry dengan perang harga telko beberapa waktu lalu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar